Ya semua pasti ada hikmahnya. Apa apa pasti ada, ya kan? Sakit ya biar istirahat. Ngga punya uang biar besok belajar hemat. Ngga lulus ya biar belajar lagi. Bangun kesiangan ya besok-besok jangan begadang.
Semakin kesini, semakin sadar bahwa ya ngga semua bisa kamu samain. Hikmah emang harus diambil setiap saat. Tapi harusnya sih ngga cuma diambil doang terus dibuang. Atau dibiarin di kulkas sampai kadaluarsa. Sampai busuk. Saking busuknya, sampai kamu males buang ke sampah karena sudah bau. Kalau memang hikmah diambil, ya harusnya dipegang terus. Biar kalau salah ga diulangin, kalau udah bener ya biar tambah bener. Tapi nyatanya, ya emang ga gampang. Mengambil pelajaran emang gampang, mengaplikasikan pelajaran yang didapat pada pengalaman selanjutnya, itu susah. Apa yang kamu bilang sebagai pelajaran, ya ga bisa disamain ketika kamu mengalami hal yang dulu bisa kamu ambil pelajarannya. Sama kayak alarm yang terus-terusan kamu snooze tiap pagi, padahal kamu tahu masang alarm jam segitu buat apa.
Tapi ya ga sesusah itu juga harusnya. Semakin kesini, semakin sadar bahwa memang ada saatnya untuk begini dan begitu karena pengalaman yang lalu-lalu terbisik lagi. Supaya kamu jadi dewasa. Supaya kamu makin bijak. Kalau di sekolah, pelajaran selalu diulang-ulang biar kita mudeng, mungkin memang juga kaya gitu. Harus bener-bener didalami. Dingertiin. Kita emang ga akan pernah lepas dari salah. Tapi ga ada salahnya juga kalau setelah ini, kita semakin ngerti kemana langkah yang bakal diambil. Karena kadang, jalan yang kita ambil ga selalu gampang buat atret terus balik arah.
An old Cherokee is teaching his grandson about life. “A fight is going on inside me,” he said to the boy.
“It is a terrible fight and it is between two wolves. One is evil – he is anger, envy, sorrow, regret, greed, arrogance, self-pity, guilt, resentment, inferiority, lies, false pride, superiority, and ego.”
He continued, “The other is good – he is joy, peace, love, hope, serenity, humility, kindness, benevolence, empathy, generosity, truth, compassion, and faith. The same fight is going on inside you – and inside every other person, too.”
The grandson thought about it for a minute and then asked his grandfather, “Which wolf will win?”
Suatu hari di suatu kota di eropa utara. Ini sedang musim dingin, tapi tidak seperti yang kamu bayangkan, tidak ada salju disini. Walau begitu, udara tetap saja dingin. Mungkin minus 4 derajat celcius. Itu di suatu intersection. Trem dan bis datang dan pergi silih berganti. Jam tanganmu menunjukkan pukul 5 sore, tetapi matahari sudah terbenam dari beberapa jam yang lalu.
Tiba-tiba, ada perasaan asing dalam dirimu.
Natal sudah hampir seminggu berlalu, tetapi alunan lagu-lagu choir natal masih mengisi speaker beberapa toko di sudut jalan. Pelan dan menentramkan. Pohon cemara yang dihias lampu dan berbagai macam hal itu masih bertengger disana. Di tengah plaza kota. Dan mereka juga. Beberapa pengemis yang sedari tadi duduk di ujung-ujung gelap jalan itu. Menengadah dalam selimutnya. Dalam kesendiriannya. Dalam orang-orang yang lalu lalang untuk berpura-pura tidak melihat apapun pada ujung jalan itu.
Pada semua ini. Pada hidup yang mengalir dalam aliran sungai yang kamu tak tahu kemana muaranya. Pada agama yang kamu pegang selama ini. Pada masa depan yang kamu kejar selama ini. Kamu pikir kamu sudah mengerti kemana semua ini akan pergi ketika kamu mulai memilih jalan yang itu. Ketika rencana-rencana sudah tersusun. Ketika kamu mulai memutuskan untuk melangkah maju.
Seakan-akan kamu tahu segala yang akan terjadi. Seakan-akan. Tapi kamu tidak. Kamu tidak bebas dari ruang dan waktu. Kamu masih di tempatmu. Dalam detik demi detik yang tidak akan bisa kamu kabur secepat apapun kamu coba.
Menyadari dirimu saat ini, kamu bukan lagi kamu yang dulu. Rentetan peristiwa seolah menjadi rantai dimana, setiap langkah yang ambil, setiap waktu yang kamu habiskan, setiap nafas, setiap momen, setiap detik, setiap peristiwa yang kamu tak bisa ulangi, adalah apa yang membentukmu hingga hari ini. Setiap hal, baik yang kamu sesali atau syukuri, adalah apa yang membuatmu berdiri disini. Di intersection ini, dalam alunan lagi choir natal yang diulang-ulang, dan pengemis yang tetap duduk dalam selimutnya.
Tiba-tiba, sangat tiba-tiba, kamu rindu akan berisiknya Jakarta. Tiba-tiba kamu ingin berbicara dengan tukang nasi goreng di ujung jalanan sebelah sana. Berbicara tentang hidup yang lucu sambil makan mi godog jawa yang masih hangat.
Menertawakan kita yang tak juga dewasa. Menertawakan masa lalu yang tak akan membuatmu maju. Menertawakan tujuan hidup yang kamu juga tak akan tahu.
Dalam langkahmu.