Cerita Pendakian: Gunung Ciremai, sekitar Mei 2014
8:55 PMDaripada nganggur, mari kita bikin ini jadi catatan pendakian kemaren. Sebenernya gak kemaren juga sih, beberapa bulan lalu. Itu ke Gunung Ciremai. Tingginya 3084 mdpl. Gunung tertinggi di Jawa Barat, katanya. Saya sih, karena ini pertama kali naik setelah sekian lama, dan gunung pertama di Jawa Barat juga, jadi ya iya-iya aja. Oh kesana sama temen kantor, dan temen-temennya lagi. Ada berlima. Berangkat dari Jakarta. Berangkat dari kota penuh polusi, ke desa penuh fantasi. Halah.
Cara berangkat dari Jakarta begini, meski lebih baik lihat blog lain sih kalau mau cari refrensi yang bagusan: Naik kereta menuju Cirebon jumat malem. Kemarin sih naik bisnis, jadi agak mahalan. Salah sih emang, padahal ada kereta ekonomi. Sampe Cirebon kira-kira udah tengah malem, jam setengah satuan. Lalu carter angkot karena ngga ada transportasi lain. Oh kita naik via jalur Palutungan, karena kita yakin dengan bahan-bahan bacaan di internet kalau jalurnya walau panjang tapi sante
Lanjut, sampe basecamp ga ada orang. Ada sih, tapi pendaki lain yang lagi tidur. Karena memang ini jam 3 pagi, ya ga enak juga buat bangunin petugas basecamp-nya, jadi ya tidur saja dulu, selow nunggu pagi.
Pagi yang ditunggu tiba. Tidur nyenyak? Nyenyak lah. Lebih nyenyak dari di kosan. Percayalah, kedinginan itu lebih enak daripada kepanasan. Dingin mah tinggal bungkus sleeping bag sama usek-usek juga udah enak. Panas itu mau diapain juga tetep ga enak. Kecuali ada AC di kamarmu, terus udara jadi dingin. Tapi itu sudah pagi. Sudah subuh dan lalu lapor ke mamang-mamang SAR. Sudah dandan dikit biar kece, sudah foto, sudah repacking, sudah sarapan di warung dan bungkus nasi putih buat dimakan pas siang. Lalu berdoa dan berangkatlah kita kesana. Mendaki Gunung Ciremai.
5 menit dari basecamp, jalan sawah-sawah
Jalur pertama sih biasa, sawah. Lalu ditemuilah hutan pinus. Lalu hutan yang entah nama pohonnya apa. Jalur Patulungan itu kalau digambarkan gimana ya? Rapet. Rapet banget vegetasinya. Seumur-umur naik gunung, kayaknya ini yang paling rapet. FYI, saya belom banyak naik gunung, jadi ya kalau ada yang lebih rapet lagi ya gak papa. Jalurnya gampang sih, tapi karena ngga ada bayangan sampai Cigowong (itu pos 2, katanya ada mata air) bentuknya kaya gimana, kita udah main takut aja kalau ternyata kelewat setelah 2-3 jam perjalanan, karena kata Internet dari basecamp ke Cigowong paling 1 jam doang. Internet lupa nulis 1 jam itu kalau yang jalan mas Vin Diesel.
Rapet, tapi ya ga serapet itu juga sih, selow
Setelah sekian waktu, sampailah di Cigowong. Itu sebenernya bisa jadi basecamp yang bagus kalau udah deket puncak. Tanahnya luas, banyak pohon gede buat nutup angin, ada sungai yang jernih, dan ada WC. Iya, WC, masih ada kloset dan ada bak mandinya. Keren. Sayangnya puncak masih jauh. Sayangnya masih banyak jam lagi kalau mau muncak dari situ, jadi ya ga bisa dibikin ngecamp. Mas Marlens mengeluarkan senjatanya, yaitu adalah semacam jerigen, tapi bentuknya lebih keren, ada kerannya, dan transparan, buat ngisi air 5 liter karena habis ini gak ada air lagi. Iyesih, asik banget bisa bawa 5 liter, tapi terus yang bawa siapa? Akhirnya diputuskanlah untuk gantian, walau ujung-ujungnya tetep Mas Marlenslah yang lebih sering bawa, Karena serius itu berat banget mas nentengnya. Kita ada beberapa menitlah, mungkin hampir sejam di Cigowong, buat makan dan seduh ini itu. Ngobrol juga sama pendaki lain. Dan lain-lain. Lalu packing lagi. Sampah jangan lupa dibawa. Iya. Lalu lanjut perjalanan.
Di cigowong. Yang belakang sendiri ga usah dipikirin.
Kali ini Internet benar. Setelah Cigowong, jalurnya emang nanjak banget. Banget mas. Ditambah vegetasi yang semakin rapet. Rencananya kita akan berhenti di Arban kalau hari sudah siang. Tapi pos Arban seolah tak kunjung tiba. Paguyuban Badak sudah lewat. Lalu pos setelahnya juga sudah lewat. Target jam 12 juga sudah lewat. Akhirnya, setelah sekian lama berjalan, sampailah di Arban. Alhamdulillah, belum terlalu sore. Lalu makan siang deh. Buka tas lagi. Makan lagi. Tapi kali ini gak lama-lama, karena hari sudah semakin sore. Dan kabut mulai pekat. Dan vegetasi pun tak kunjung menunjukkan keterbukaannya. Sampah jangan lupa dibawa.
pos arban, masak masak
Kenapa kamu paling enak makan siang di Arban, karena habis itu adalah Tanjakan Asoy. Dari namanya aja udah ngeselin kan? Iya, praktisnya adalah kamu harus siapin tenaga untuk jalan yang lebih nanjak lagi. Sementara kabut semakin pekat, hari mulai sore, jalanan semakin menanjak, malah kadang nanjaknya gak kira-kira, dan kaki sudah mulai lelah dan kadang ada kram. Target awalnya kita mau ngecamp di Goa Walet, tapi kata mas-mas pendaki lain itu masih jauh banget. Kayaknya maghrib pun bakal belom sampe. Nyatanya waktu maghrib dari Tanjakan Asoy aja belom nemu pos lagi yang layak buat ngecamp. Senter sudah harus mulai dikeluarkan. Ritme jalan juga sudah jadi semakin lambat.
senyum palsu
Akhirnya sekitar jam 7 atau 8 malem, kita sampai di Pasanggrahan Badak. Itu tanah yang lumayan bagus, walau gak luas. Setelah berdiskusi, kita putuskan ngecamp disini karena kondisi fisik yang udah payah. Karena diputuskan untuk ngecamp di situ, konsekuensinya adalah besok harus bangun pagi biar dapet sunrise. Iya. Lalu buka tenda, buka matras, atur ini itu, dan lalu buka kompor gas buat masak. Masak lagii.. Perlu kamu tahu, kadang, makanan di gunung itu lebih enak daripada di kosan. Ada tumis sawi campur telor orak arik, ada sosis dan bakso goreng, ada kornet, ada nasi yang alhamdulillah tanak dan enak. Ada musik juga yang bagus. Ada tawa dan sebagainya. Ada teman rombongan pendaki lain di sebelah. Malam yang bagus dan dingin sebenernya buat ngobrol sampai pagi, tapi sudah pada capek dan besok harus bangun pagi. Pendakian ini tanpa cerita di api unggun.
nyenterin doang banget mas?
Alarm bunyi jam 2 pagi. Snooze! Bunyi lagi. Snooze lagi! Bunyi lagi. MasyaAllah ini udah jam berapa?! Untung baru jam 3 belom ada kayaknya. Tenda sebelah sudah grusak-grusuk. Kayaknya udah siap-siap mau muncak. Kita segera juga. Bawa yang bisa dibawa aja, lainnya tinggal di tenda aja. Gak takut maling? Yaa ini bukan di Jakarta kak. Insyaallah nggak ada maling. Asal HP dompet dan identitas tetep harus dibawa. Setelah bikin kopi dan makan roti seadanya, dan berdoa, akhirnya berangkat. Summit attack!
Karena sudah istirahat cukup, dan beban sangat berkurang, dan udara juga sedang bagus dan dingin, kita berjalan (kayaknya) cukup cepat. Dan senang. Saya agak lupa detail perjalanan pagi itu karena gak foto. kayaknya sih, kita sampai di pertigaan Apuy-Palutungan sekitar mau jam 5. Lalu lanjut jalan. Kayaknya semalem adalah keputusan yang tepat buat ngecamp di Pasanggrahan Badak karena kita baru sampe di Goa Wallet itu matahari sudah hampir terbit. Sudah terbit sih kayaknya, tapi belom full. Sunrise masih bisa dikejar. Perjalanan pagi ini, menurut saya sih asik. Karena ritmenya bagus, udara sangat segar, langit cerah, vegetasi mulai terbuka setelah pertigaan Apuy-Palutungan sehingga pemandangan kota di bawah sana sudah mulai terlihat. Sunrise sepertinya masih bisa didapat.
Senter mulai dimatikan. Jalur semakin ekstrim. Edelweiss yang belum mekar terlihat dimana-mana. Orang-orang sudah mulai berteriak di kejauhan sana. Puncak sudah dekat. Akhirnya, sekitar jam 6an, kita sudah sampai di puncak. Masih dapetlah matahari yang masih merah itu. Lelah pun sirna. Klise emang, tapi ya emang gitu. Apalagi lalu dilanjut sesi fota-foti. Selfa-selfi. Apalagi lalu ada pendaki-pendaki lain yang mulai dateng, dan beberapanya cakep. Aduh~
puncak!
puncak lagi!
kepada mas yang belakang sendiri yang entah kenapa ikutan pose dan berphotobomb, siapapun dirimu, just why? haha sikak
mbak mbak cihoy
spoiler puncak ciremay
selfie lagi..
bayangan gunung, bayangan pantat. oh itu ambil sampah btw, jangan diece.
Kredit foto buat mas foto dan petualangan. Tak lupa tulisan lain untuk yang sudah mau bantu repot-repot buat kita bisa pulang di tulisan paska pendakian.
0 comments