Confession

9:25 PM

Sebuah pengakuan: I feel like I just murdered someone.
Something sih lebih tepatnya.

Ceritanya beberapa minggu yang lalu saya melihat anak kucing yang baru saja kehujanan di tengah jalan mau pulang. Masih kecil, lucu, dan kasihan. Sebagai salah satu makhluk yang juga suka dengan kucing, maka saya meminggirkan kucing itu ke pinggir jalan biar ga ketabrak mobil. Saat itu terpikir sejenak buat mbawa kucing ke kosan untuk dipelihara, tetapi mengingat kamar kos ada di lantai 3, dan dengan lingkungan yang individualis ala Jakarta (atau saya yang terlalu ansos sih mungkin), jadi saya mengurungkan niat dan malah membeli ayam bakar.

Masalah dimulai ketika rasa bersalah itu muncul. Pada saat menunggu ayam dibakar, ada semacam "apa pelihara aja ya?". Saya lalu googling cara memelihara anak kucing, cara memelihara kucing di kosan, dan lain sebagainya. Sejujurnya saya ngga pernah benar-benar memelihara kucing, cuma suka ngasih makan aja dan nguyel-uyel kucing yang suka tidur di kolong mobil kalau di rumah. Rasa bersalah saya karena menelantarkan anak kucing tersebut akhirnya sampai pada puncaknya, yaitu saya memutuskan untuk mengambil dan mencoba memelihara makhluk yang kasihan tersebut. Saya memacu motor lagi ke jalan yang tadi, tapi sayangnya engga nemu kucing tadi. Mungkin emang ga jodoh.

Tapi ternyata jodoh sih. Hari berikutnya, saya melihat anak kucing itu ketika berangkat ke kantor. Oke, kalau pulang ketemu lagi mungkin jodoh. Dan benar, ketika pulang ketemu lagi. Setelah melihat sekitar, memastikan tidak ada ibunya si kucing itu, saya mengambil kucing tersebut, menaruh di kolong motor di bawah stang Vario, membeli whiskas sasetan, dan membawa si kucing tersebut ke kosan.

Sesudah sampai di kosan, saya mulai memotong-motong kardus bekas kipas angin, membentuk sedemikian rupa sehingga menjadi litter box, dan menaruh pasir yang diambil dari rumah depan kosan yang emang lagi renovasi. Masalah berikutnya adalah, dimana saya harus taruh litter box? Saya ngga pernah keluar kamar, bahkan tetangga kanan-kiri kos ga kenal. Terpaksa saya taruh di kamar, dengan ditutup kertas koran dan sebagainya biar lantai kosan ga kotor-kotor amat. Untuk kandang, saya taruh handuk teman saya yang tertinggal saat dia nginep di kosan ke dalam kotak kardus lain. Malam pertama dengan si kucing saya habiskan dengan membersihkan bulunya yang agak kusut karena habis kehujanan. Ketika eek pun, si kucing bisa eek di litter box yang disediakan. Semua berjalan dengan lancar. Sepertinya saya bisa melakukannya.

Masalah berikutnya adalah ketika pagi, mau saya taruh dimana si kucing ini? Kalau saya taruh luar, bisa-bisa bikin geger anak kosan. Dan mungkin saya bisa diusir jika ketauan ibu kos. Akhirnya, si kucing saya taruh di dalam kamar, taruh whiskas dan air agak banyak, menyalakan air cooler kecepatan low, mengamankan barang-barang yang sekiranya berbahaya bagi kucing maupun bagi barang itu sendiri, dan mengunci kamar seperti biasa. Lalu saya berangkat ke kantor. Di kantor, pikiran agak bercabang karena parno si kucing bakal eek dimana, mati engga kalo ditinggal, dan sebagainya. Sepulang kantor ada ajakan dari teman-teman buat jajan dan bersosialisasi, tapi saya memilih untuk langsung pulang dan melihat si kucing. Pintu dibuka, bau eek kucing menyeruak, pasir dimana-mana, tapi si kucing baik-baik saja.

Karena whiskas sudah tinggal dikit dan saya merasa kamar saya sangat kotor kalau memakai pasir sebagai litter box, maka saya membeli makanan kucing dan pasir khusus kucing di petshop deket kosan. Saya mengganti pasir yang kotor dengan pasir kucing yang lumayan bersih. Makanan juga diganti yang lebih murah. Tapi masalah belum selesai.

Hari berikutnya ketika saya kembali dari kantor, litter box saya bersih tidak ada eek kucing. Si kucing malah eek di kasur, entah kenapa. Saya harus melatih berkali-kali agar dia mau eek di litter box. Kasur saya ganti sepre 3 kali dalam 2 malam. Si kucing juga awalnya gak doyan dengan makanan barunya. Harus dilatih juga agar akhirnya doyan makan makanan kucing tersebut (pakai rasio whiskas 20 - makanan baru 80, sampai akhirnya whiskas habis).

Beberapa hari berlalu, si kucing yang tadinya gugup sudah mulai manja. Bulunya sudah bagus dan sudah lincah berlari-lari kesana kemari. Kaki saya sudah kena gigit berkali-kali, dan tangan saya sudah penuh dengan luka cakar. Ngga masalah karena ini adalah bagian dari memelihara kucing, apalagi masih anak-anak. Tetapi semakin lama, saya merasa agak kerepotan. Saya harus membuat benteng dari susunan kardus karena si kucing tidak bisa diam ketika saya harus mengerjakan sesuatu di laptop. Kaki harus selalu dilindungi dengan entah selimut atau apa biar ga digigit dan dicakar. Si kucing juga masih suka eek di kasur. Tepat seminggu, tekad saya mulai goyah.

Hari itu, si kucing lebih agresif. Sepertinya dia juga stress karena terus menerus ditinggal di kamar kos yang panas. Yang biasanya nyakar dan gigit, jadi lebih seram karena mulai mendesis dan mengeong keras-keras. Saya merasa bersalah. Saya mulai tanya ke teman-teman yang mempunyai rumah di Jakarta, apakah ada yang mau memelihara. Sayangnya engga ada. Agak panik juga karena itu hari Sabtu dan tentu saja seluruh penghuni ada di kos masing-masing, sedangkan si kucing tidak berhenti mengeong meski diberi makan. Dan juga tidak berhenti buat eek di kasur. Saya merasa panik dan kalah. Saya merasa tidak bisa untuk terus-menerus seperti ini. Maka, yang terjadi terjadilah. Saya akhirnya mengembalikan si kucing itu ke jalan. Ke tempat saya mengambil si kucing tersebut.

Tentu saja malam-malam selanjutnya adalah malam-malam saya harus baper karena merasa bersalah. Apalagi tadi di luar hujan. Si Andin mencoba meyakinkan bahwa kucing liar memang habitatnya di luar, jadi ya wajar kalau hujan. Semoga begitu. Hari-hari selanjutnya juga saya sengaja buat memutar, ngga lewat jalan biasanya demi nggak baper kalo ketemu si kucing. Ketika 9gag-an, saya juga harus skip gif gif kucing yang lagi lucu. Semacam tidak kuat untuk menghadapi rasa bersalah.

Sampai pada beberapa hari yang lalu. Saya melihat si kucing ketika mau makan siang dengan teman. Si kucing terlihat dekil. Dia duduk begitu di bawah warung seblak. Sepertinya habis kehujanan dan mungkin jatuh ke got. Ada semacam tarikan yang kuat agar kembali mengambil si kucing itu. Tapi...

Tapi Ya Allah Ya Robb, demi kehidupan kos yang sudah kembali tenang, demi kasur yang sudah bersih, demi bau kamar yang kembali normal, demi tidak di usir dari kosan, saya harus mengubur dalam-dalam rasa kasihan itu. Maaf ya kucing. Maaf. Semoga kamu membaik dan bahagia di masa depan. Maaf. Maaf karena sudah...

...

...

Oke. Catatan akhir.

Kadang jadi harus berpikir, bahwa benar kata Iwan, hidup memang bukan pilihan. Hidup terjadi begitu saja. Mungkin takdir. Kalau kata Pidi, kita hidup karena hasil orangtua kita yang habis bersenang-senang. Tapi bagaimanapun ketika kita sudah hidup, mau tidak mau, siap tidak siap, memang harus bertarung dan menjalani hidup itu, apapun kondisinya. 

Oh btw, kemarin ketika saya jalan ke Masjid pas mau jumatan, saya kembali melihat anak kucing lain yang juga sama kasihan di pinggir jalan. Bulunya putih bagus, tapi kotor. Mungkin ini semacam peringatan,
atau kutukan. 

Fakyu, Bay!

You Might Also Like

2 comments